Belajar Dari Kota Ternyaman di Dunia

SIDE WALK

Melbourne pernah dinobatkan menjadi kota most liveable city atau saya menyebutnya kota ternyaman. Penghargaan itu didapat tidak hanya satu kali, bahkan pernah mendapatkan penghargaan ini 3 kali secara berurutan yaitu pada tahun 2015, 2016, 2017. 

Walaupun pada tahun 2023 tidak menjadi nomer satu, Melbourne masih berada di posisi 10 besar dunia. Seperti yang kita tahu untuk mendapatkan penghargaan itu bukanlah hal yang lumrah, karena bersaing dengan banyak kota di seluruh dunia.

Dan hal yang saya syukuri adalah pada tahun 2015 dan 2016 tersebut saya tinggal disana selama 2 tahun dikarenakan istri saya melanjutkan kuliah S2-nya di Melbourne University.

Salama saya hidup saya belum pernah tinggal di semua kosa di dunia, dan saat ini saya hanya pernah mendatangi beberapa di kota seperti  Denpasar, Makasar, Surabaya, Jakarta, Semarang, dan beberapa kota lain hanya sekedar "transit". Dan saat ini saya tinggal di Jogjakarta. 

Tulisan ini sebagai perbandingan dan tentu saja harapan ke kota-kota di Indonesia untuk menjadi lebih baik kedepannya menjadi kota yang nyaman untuk di huni.

Melbourne berada di negara Australia bagian selatan, sehingga mendapatkan 4 musim, dimana musim dingin (winter) di Melbourne berada pada pertengahan tahun dan musim panas pada akhir tahun. Secara umum kota tersebut akan terasa lebih banyak suhu dinginnya walaupun pada musim panas suhu udara bisa mencapai 40 derajat celcius.

Sebelum tinggal di Melbourne saya pernah mengunjungi Kyoto dan Osaka Jepang. Hal pertama yang saya rasakan sebagai pembanding adalah saya merasa transportasi publik di Melbourne tidak lebih baik dari transportasi publik yang saya temui di kedua kota di Jepang tadi.

Namun ketika saya tinggal disana selama 2 tahun  (jika tidak membandingkan dengan Jepang) dibandingkan dengan kota-kota di Indonesia tentu jauh lebih nyaman. Mereka menggunakan tram, kereta dan bus sebagai transportasi publik. Tapi untuk ini saya akan membahas di postingan yang lain ya.

Hal berikutnya yang saya nikmati tinggal di Melbourne adalah nyamannya kita untuk berjalan kaki. Bahkan berjalan kaki menjadi hal yang paling saya rindukan dari Melbourne. Ketika saya tinggal di Indonesia, saya ternyata jarang sekali berjalan kaki, bahkan hanya untuk ke warung depan saja saya lebih memilih naik motor, dengan alasan panas atau biar lebih cepat.

Ketika saya berjalan di Melbourne malah menjadi 180 derajat berbeda sekali, saya mulai terbiasa berjalan kemana pun dan akhirnya mulai menikmati aktivitas harian ini. 

Jadi apa sih yang membuat saya sangat menyukai berjalan di kota Melbourne?

Yang pertama adalah trotoar tempat kita berjalan sangat nyaman di lalui. Sebagai perbadingan trotoar sebagai tempat kita berjalan sepanjang jalan bisa dibilang hampir tidak ada beda ketinggian yang ektrim seperti anak tangga. 

Tinggi trotoar menurut perkiraan saya hanya sekitar 10 cm-an saja. Sangat berbeda dengan yang di Indonesia dimana tinggi trotoar bisa berbeda-beda di tiap jalan dengan tinggi trotoar seperti sebuah anak tangga dikisaran 20-30 cm. Dan paling saya rasakan di Indonesia adalah banyaknya cekungan/cerukan disepanjang trotoar. 

Side walk atau trotoar tadi tidak hanya saya temui di tengah kota atau jalan-jalan besar, namun hingga ke daerah pedestrian. Berbeda dengan di Indonesia yang memang lebih utama di jalan besar atau jalan utama.


Di samping adalah salah satu side walk didaerah pedestrian atau pemukiman. Dimana cekungan ke arah jalan untuk keluar masuk kendaraan tidak mengganggu ketinggian trotoar pejalan kaki.

Bisa dilihat juga ruang untuk trotoar yang lebar sehingga memungkinkan untuk akses jalan kaki yang memadai, ditambah penempatan tiang listrik dan pepohonan.


Di samping kanan ini adalah salah satu foto cekungan yang saya ambil di daerah perkotaan.

Cekungan-cekungan ini dibuat banyak untuk pejalan kaki, dan sebagain untuk kendaraan. Namun dari pengamatan singkat saya cekungan ini tidak saya temui di tiap depan toko seperti yang sering saya lihat di Indonesia.

Inilah salah satu hal yang membuat pejalan kaki sangat dimanjakan. Akses untuk pejalan kaki dari tempat-tempat hunian hingga ke toko-toko di tengah kota sangat terawat.

Hal yang sering kita temui di Indonesia, trotoar yang kosong dipakai oleh pedagang kaki lima atau dipasangkan pot-pot tanaman hingga bendera-bendera sehingga kita sebagai pejalan kaki menjadi kesulitan untuk lewat.

Bagaimana dengan Indonesia? apakah bisa membuat sebuah sistem seperti itu? kenapa sistem? Karena memang terlihat sepele, namun trotoar ini merupakan akses penting yang mempengaruhi produktivitas atau aktivitas masyarakat di daerah tertentu.

Akses yang baik jelas akan mempengaruhi produktivitas, terutama di kota-kota besar di Indonesia. Porsi pejalan kaki yang sering di nomer dua-kan dibanding kendaraan roda dua dan empat menjadikan pejalan kaki bukan sebagai prioritas, yang ada malahan pelebaran jalan. 

Pemerintah seperti urung untuk memprioritaskan ini. Banyak alasan lain juga, pemerintah menganggap yang dibutuhkan masyarakat adalah jalan yang baik. Namun seandainya transportasi publik yang memadai dan mudah aksesnya, begitu juga pejalan kaki diutamakan plus murahnya transportasi publik, saya pikir masyarakat akan perlahan memilih untuk berjalan dan menggunakan transprortasi publik tersebut. 

Bagaimana menurut kamu?






Comments

Popular posts from this blog

Pilih Presiden Indonesia (Pemilu) atau Golput ya?

Membaca Vs Menonton

Kendaraan Pribadi vs Transport Publik. Mana yang lebih baik buat Indonesia?