Trans Jogja Yang Mengecewakan

Yogyakarta, kota yang begitu nyaman, ramah, penuh dengan rindu dan feels like home. Sebagai seorang yang terlahir di Yogyakarta, 2 tahun kemudian saya harus pindah keluar kota Denpasar Bali dan Makassar. Setelah 10 tahun meninggalkan kota Jogja, akhirnya saya kembali ke Jogja. 


Kala itu Jogja yang disebut kota pelajar begitu ramai karena banyak anak-anak sekolah maupun anak kuliah yang sedang belajar di kota ini. Menariknya di jalanan begitu banyak kendaraan roda dua, hampir tiap lampu merah kendaraan roda dua akan memenuhi perempatan.


Begitu juga dengan becak, saya adalah salah satu pengguna transportasi tradisional ini. Baik itu untuk berangkat ke sekolah atau kalau saya ingin jalan-jalan ke Malioboro karena jaraknya cukup dekat dengan tempat saya tinggal waktu itu.


Ketika saya SMP, saya adalah pengguna bus kota jalur 12 dan 15. Dimana bus kota pada saat itu yang paling saya ingat adalah “Kopaja”. Tidaklah seperti bus-bus Trans Jakarta yang santun, bus kopaja yang berseliweran di kota Jogja ibarat sebuah balapan liar, karena mereka mengejar setoran, dan saling berebut penumpang.


Tidak jarang saya melihat orang-orang bergelantungan di pintu bus hanya karena pilihan bus berikutnya akan membuat mereka telat sampai tujuan. Terdengar sangat bahaya tentu saja, walaupun saya hampir tidak pernah mendengar terjadi kecelakaan yang melibatkan bus kota ini.


Walaupun begitu, seramai-ramainya Jogja waktu itu adalah tempat yang nyaman, udaranya masih segar, dari ujung kota ke ujung kota hanya butuh waktu 15-20 menit hanya dengan motoran. Angkringan menjadi tempat makan sederhana yang favorit untuk hangout dan mengenal teman-teman dengan cara yang sangat rendah hati.


Bagaimana Jogja sekarang? 


25 tahun kemudian, di tahun ini 2024, Jogja yang saya tinggali sudah bertransformasi menjadi “maunya” kota yang lebih modern. Tidak hanya kota pelajar namun juga menjadi kota atau tempat tujuan wisata.


Walaupun saya masih menemui angkringan di sudut-sudut kotanya, namun begitu banyaknya warung kopi sekelas starbuck yang harganya bisa berkali-kali lipat dari pada nongkrong di angkringan menjadi pemandangan yang mudah ditemui di jalan-jalan kota ini.


Kota Jogja yang makin ramai, bahkan hingga bagian ujung-ujung ringroad membuat orang juga susah memahami bahwa kota jogja tidaklah sebesar itu. Kota Jogja yang memiliki luas 32,5 km persegi ini sebenarnya hanya 1% dari DIY. 


Jalan Kaliurang, Jalan Gejayan, Jalan Godean yang saat ini penuh sesak sebenarnya sudah keluar dari wilayah kota Jogja. Tapi tentu saja kita masih menilai itu adalah kota Jogja.


Bus Kopaja tadi sudah tergantikan dengan Trans Jogja berwarna biru. Ditambah banyaknya Mall dimana dulu Mall yang saya kunjungi hanyalah Malioboro Mall. 


Saat ini Mall yang jumlahnya sudah lebih banyak, dan banyak yang main ke Mall berkendaraan roda empat sehingga tak heran jika di jalan-jalan Jogja saat ini kendaraan roda empat memenuhi perempatan.


Ditambah lagi di masa liburan, Jogja yang menjadi salah satu tujuan wisata lokal menjadi lebih padat, dan makin banyak kendaraan yang berseliweran di jalanan.


Tidak ada lagi dari ujung kota ke ujung kota 15 menit. Begitu padatnya kota ini membuat saya pribadi menjadi risih. Disatu sisi saya pribadi juga sesekali menggunakan roda empat yang mana kondisi ini merupakan hal yang tidak bisa saya hindari. Mengeluh pun menjadi hal lazim tapi juga aneh.


Ketika kota ini memperkenalkan Trans Jogja dengan bus-nya yang berwarna hijau dan mulai beroperasi pada tahun 2008, membuat saya menjadi bersemangat. Saya untuk pertama kalinya merasa kota ini akan makin nyaman, apalagi di awal-awal Trans Jogja beroperasi ini saya benar-benar merasa nyaman.


Halte yang bersih dengan sistem tiket yang ditangani oleh petugas. Bus yang ber AC, penuh tapi tidak berdesakan. Hanya saja pada saat itu jalurnya menurut saya kurang efektif. Karena jalur Trans Jogja lebih banyak memutar, sehingga lebih menghabiskan banyak waktu untuk mencapai tempat tertentu.


Ambil contoh dari pengalaman saya, waktu itu saya naik bus dari Jombor ke arah jalan urip sumoharjo, lebih tepatnya di depan bioskop XXI. Namun jalur bus mengharuskan saya ke Bandara Adisucipto terlebih dahulu, dan mengganti jalur disana. Menunggu bus jalur ke arah Jalan Urip Sumoharjo juga sayangnya tidak sebentar.


Jadi selain harus memutar, saya diharuskan ganti bus. Hal ini menjadi tidak efektif sehingga waktu saya terbuang cukup banyak. 


Hal positif dari Trans Jogja saat itu, Bus hijau tersebut terasa lapang, aman, nyaman. Dimana dengan tiket yang terbilang murah dan halte-halte yang rapi dengan petugas-petugas yang ramah dan sangat membantu pengguna bus Trans Jogja. 


Hal ini ditambah supir-supir-nya yang sopan dalam mengendarai transjogja begitu sopan dan ini membuat perbedaan yang sangat signifikan dibanding Kopaja. Mereka mengendarai bus dengan tenang tanpa ada rasa terburu-buru.

Dengan ini tentu saja saya punya harapan besar pada transportasi ini, Trans Jogja menjadi harapan kota ini agar berpindah dari kendaraan pribadi ke kendaraan umum sehingga mengurangi kemacetan di kota ini yang mulai terasa sejak 10 tahun yang lalu.


16 tahun berlalu, apa yang terjadi? 


Walaupun pemerintah kota Jogja mulai memperbaiki trotoar untuk pejalan kaki dengan lebih rapi dan indah, namun hal ini haruslah dibarengi dengan keberadaan transportasi publik yang banyak dan memadai. 


Setidaknya hingga saat ini, pengembangan untuk pejalan kaki masih berpusat di area Malioboro dan mulai meluas. Tapi hal ini belum cukup karena saat ini kota Jogja tidaklah kota yang berdiri sendiri secara geografis.


Bus yang tadinya berwarna hijau tadi berubah menjadi berwarna biru. Dengan ukuran yang menurut saya tidak selapang bus berwarna hijau. Dan pengalaman saya dengan bus berwarna biru ini sayangnya tidak begitu baik.


Trans Jogja (bus biru) tidak lagi bersahaja seperti dulu. Saya beberapa kali dipepet bus ini di jalan raya kota Jogja. Kejadiannya tidak hanya sekali, dan ini cukup membahayakan pengendara lain, baik itu pengendara kendaraan roda 2 atau pun roda 4. 


Bagaimana Trans Jogja kembali kebiasaan lama ala Kopaja menurut saya menjadi sebuah penurunan layanan. Ditambah lagi sistem tiket halte di tempat-tempat yang dulu ada mulai ditinggalkan.


Sistem pembayaran yang dulunya dibayarkan di halte, sekarang kembali ke sistem “kopaja” yaitu dibayar ke ”kernet”. Mungkin ada yang lebih senang dengan sistem seperti ini, namun saya pribadi lebih suka dengan sistem pembayaran di halte.


Lebih dari 10 tahun beroperasinya Trans Jogja tentu saja saya berharap ada pembenahan pada layanan. Salah satunya adalah pelebaran titik jalur-jalur yang dilalui. Sleman, Bantul, adalah daerah kabupaten yang bersinggungan langsung dengan wilayah kota Jogja, dimana banyak penduduknya yang berada di “perbatasan” butuh akses juga. 


Artinya masyarakat butuh akses ini, karena kenyataannya tidak adanya akses yang mudah untuk mencapai halte Trans Jogja membuat masyarakat lebih memilih menggunakan motor atau mobil.


Hal ini bisa dibilang kegagalan masif setidaknya dimata saya. Trans Jogja yang sudah beroperasi 16 tahun, namun dengan jalur yang tidak berbeda jauh dengan pertama kali beroperasinya atau setidaknya sudut pandang saya, bisa jadi transportasi ini akan mati, hal ini ditambah begitu mudahnya orang untuk mencicil kendaraan dengan sistem riba bukan membuat orang menjadi lebih nyaman tapi beban.


Trans Jogja tidak bisa berdiri sendiri, butuhnya feeder yang terhubung dengan sistematis dengan jalur-jalur utama Trans Jogja. Ruang untuk pejalan kaki harus di expand secara masif dan harus sejalan dengan pengadaan feeder.


Begitu juga dengan petugas-petugas yang bekerja halte malah ditinggalkan. Sistem tiket yang sudah nyaman kembali ke sistem pembayaran di dalam bus dimana ini kembali lagi ke era Kopaja. Dengan AI yang saat ini sudah banyak digunakan dalam berbagai bidang, Trans Jogja harusnya mulai menggunakan sistem yang lebih efektif, seperti kartu dengan pembayaran e-money, namun juga masih bisa menggunakan uang buat yang belum memiliki kartu.


Dengan pemanasan global seperti ini juga dibutuhkan penghijauan di trotoar-trotoar sehingga pejalan kaki lebih nyaman. Tanpa akses yang nyaman ke halte bus membuat orang-orang akan berpikir puluhan kali untuk menggunakan Trans Jogja.


Tentu saja hal ini tidaklah sistem kerja semalam, butuh political will, perencanaan yang matang, dan dana yang memadai. 


Sebagai orang Jogja, tentu saja saya ingin Jogja menjadi kota yang nyaman untuk ditinggali dengan akses transportasi umum yang ramah dan terakses dan terintegrasi dengan masyarakatnya dengan baik sehingga bisa masyarakatnya bisa lebih produktif dan sehat.


Kendaraan pribadi akan tetap dibutuhkan, namun transportasi umum menurut saya membuat kota menjadi lebih efektif, produktif, rapi, dan akan mengurangi polusi. 





Comments

Popular posts from this blog

Pilih Presiden Indonesia (Pemilu) atau Golput ya?